Merindukan Jogja Merindukan Transportasi Umum

Jogja dengan segala keindahannya punya nilai negatif di mata saya. Nilai minus. Yaitu minimnya TRANSPORTASI UMUM. Adalah hal yang lumrah di Jogja jika jumlah kendaraan bermotor (baca: motor) dalam satu keluarga adalah sejumlah anggota keluarga yang aktif bepergian. Jadi kalau anggota keluarganya 4, jumlah motor yang dimiliki juga 4, kadang malah ditambah punya mobil juga. Bayangkan kalau dalam satu keluarga punya 8 anak. Jika jumlah motor dalam satu keluarga berbanding lurus dengan kesejahteraan keluarga tersebut maka saya turut bersyukur untuk baiknya ekonomi keluarga tersebut.

Tapi menurut saya jumlah itu tidak berbanding lurus dengan pertumbuhan ruas jalan dan etika berkendara. Banyak yang mengeluh Jogja mulai macet dan semrawut. Sejumlah pemotor waton iso mlaku (asal bisa naik) tanpa dibekali pengetahuan dan etika berkendara. Saya yakin kok dari banyaknya pengendara motor yang tiap hari sliweran di jalan-jalan kota Jogja, banyak yang bikin SIM C nya nembak. Hayooo ngaku..Sudah jadi rahasia umum kalau birokrasi ke Polisi apa-apa diduitin. Akibat dari pengendara SIM nembak ini jalanan dipenuhi mahkluk-mahkluk berhelm yang naik motornya seenaknya sendiri. Sering kali ibu saya (usia 60) naik motor sudah pelan-pelan di ruas paling kiri masih juga dipepet dari kanan dan kiri dan diklakson. Bikin deg-degan kata ibu saya. Saya sendiri banyak mengalami kejadian bikin deg-degan di jalan saat naik motor di Jogja. Masa iya sih naik motor di Jogja jadi ajang uji nyali…

macet-solo_1503

macet dan tidak nampak transportasi umum

Di daerah saya Jl. Godean km 7 -yang ramenya sudah mirip Kali Malang, Jakarta Timur- , hampir tidak ada angkot atau bus, kalaupun ada jadwal munculnya entah jam berapa. Tetangga saya Lik Par adalah embah-embah tua keluarga pra sejahtera umur 70-an yang rajin bekerja. Setiap hari dia berjualan makanan kecil di depan SD dekat rumah. Dengan tidak adanya transportasi umum yang pasti, Lik Par ini kulakan dagangan dengan berjalan kaki dari rumahnya di Cokrokonteng ke Pasar Godean yang jauhnya sekitar 3 km. Bayangin aja mbah-mbah seumur gini nggak punya sepeda, nggak bisa naik motor, angkot & bus nggak jelas rimbanya kudu jalan bolak-balik 6 km buat manggul dagangan sendirian? Oh come on goverments open your eyes! Bayangin juga ada berapa banyak mbah-mbah dan bapak ibu sepuh yang pengen bepergian tapi terkendala transport.

Greget deh sama pemerintah, orang-orang pelindung & wakil rakyat itu, masa seegois itu nggak juga tergerak hatinya. Mau nunggu Jogja ruwet dan macet kaya Bekasi? hehehe…Ayolah please lah, udah urgent banget ini macet dan semrawutnya. Masa iya masyarakat Jogja sudah terlalu nyaman kemana-mana naik motor sendiri, dan nggak mau naik transport umum. Adakah yang juga seperti saya merindukan Jogja, DIY keseluruhan, punya transportasi terintegrasi nyaman aman murah, yang menghubungkan 5 wilayahnya. Ada angkot masuk kampung, angkot bebas ngetem karena supirnya dibayar pemerintah, angkot yang menghubungkan kampung dengan kampung dan menghubungkan dengan pool bus. Bus-bus nyaman yang mengantar dari Utara Sleman ke Gunung Kidul bagian Selatan dan keseluruh pelosok Jogja dari pagi sampai malam. Indahnya Jogja jika punya transportasi umum.

Saya bukan ahli transportasi bukan juga ahli Rekayasa & Manajemen Lalu Lintas, saya cuma pemimpi yang merindukan suatu hari nanti saat pulang ke Jogja saya bisa naik transportasi umum bersama keluarga saya tanpa repot-repot naik motor dan tanpa merepotkan adik saya minta diantar dengan mobil. Tujuan saya nulis ini adalah untuk pengingat, sejak tulisan saya ini diposting berapa lama impian saya ini terwujud..Yes I am a dreamer but dream can come true..maybe someday..

Leave a comment